30 June 2010

Membudayakan Penulisan Novel Sejarah (versi Indonesia)

Oleh: Drs. Suharno. M, Ed.

Bung Karno pernah berkata : “Hanya bangsa yang besar, yang tidak meninggalkan sejarahnya.” Kutipan tersebut sejalan dengan apa yang sering dianjurkan oleh para sejarawan, bahwa kita sebaiknya belajar dari sejarah atau masa lampau agar kita tidak membuat kesalahan dua kali. Melihat anjuran tersebut betapa sejarah mempunyai peranan yang cukup penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Tetapi kenyataannya tidak banyak orang tertarik mempelajari sejarah : terbukti para lulusan SMA yang masuk Fakultas Sastra Jurusan Sejarah tidak begitu melimpah bila dibandingkan lulusan SMA yang masuk fakultas-fakultas lain, misalnya Fakultas Ekonomi, Hukum, Psikologi dan sebagainya. Hal ini sangat bertentangan dengan anjuran para sejarawan kita. Pada satu pihak, kita menyadari pentingnya belajar sejarah, di lain pihak sangat sedikit yang tertarik atau berminat belajar sejarah.

Ada dua hal yang menyebabkan sejarah kurang menarik dipelajari. Pertama, sebagai mata ajaran yang diberikan sejak Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas sejarah diajarkan secara monoton; guru menerangkan peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh masa lampau secara kronologis berdasarkan buku paket dan siswa harus menghapal urutan peristiwa atau tahun-tahun kejadian beserta tokoh-tokohnya dan lain-lain. Dengan demikian sebagai mata ajaran yang cukup penting terasa kering dan kurang menarik minat siswa untuk mempelajari secara lebih mendalam. Kedua, kurang adanya buku-buku acuan tambahan yang berupa buku novel sejarah. Buku novel sejarah itu berffungsi sebagai perangsang minat, artinya siswa bisa mulai belajar sejarah melalui novel sejarah terlebih dahulu untuk membangkitkan minat,; atau bila siswa merasa jenuh membaca butu teks yang bahasanya kering, kurang emotif, dia bisa membaca novel sejarah sebagai selingan. Dengan demikian dua macam buku acuan itu bisa digunakan secara terpadu atau bergantian, dan guru bisa memilihkan novel-novel yang mempunyai latar belakang sejarah.

Kenyataannya memang, membaca novel sejarah jauh lebih mengasyikan daripada membaca butu teks sejarah. Hal itu tidak mengherankan karena novel sejarah adalah karya fiksi dan buku teks sejarah non fiksi. Keduanya mempunyai perbedaan mendasar dalam cara penyajian maupun bahasanya. Sebagai karya fiksi novel sejarah disajikan dalam bentuk narasi dan menggunakan bahasa yang khas (konotatif) sehingga dalam suatu deskripsi mengenai suatu tempat peristiwa (setting), tokoh (character), maupun peristiwa (incident) nampak begitu hidup seolah-olah pembaca bisa melihat, mendengar, merasakan dan mengalami peristiwa itu sendiri. Bahasa dalam karya fiksi (novel) bisa menyentuh perasaan dan menghanyutkan pembaca. Di samping itu, dalam karya fiksi terdapat plot dan suspense yang merupakan daya tarik tersendiri bagi pembaca.

Sebaliknya, buku teks sejarah disajikan dalam bentuk eksposisi dan menggunakan bahasa ilmiah (denotatif) sehingga dalam deskripsi suatu peristiwa, tokoh, dan tempat kejadian terasa kering, kurang menyentuh emosi pembaca. Kadang-kadang kalimatnya begitu panjang dan ‘complicated’ sehingga pembaca (siswa) mengalami kesukaran dalam mencerna isi buku teks tersebut, dan pembaca (siswa) merasa dipaksa dalam membaca buku itu karena merupakan buku wajib.

Masalah Menulis Novel Sejarah

Menulis novel bisa dikatakan gampang-gampang susah. Bagi orang-orang tertentu (novelis) sepereti N.H. Dini, Ike Soepomo, Y.B. mangunwijaya dan lain-lain menulis novel merupakan pekerjaan yang cukup mengasyikkan, tetapi bagi orang awam (non-novelis) pekerjaan itu bukan main sulitnya. Dalam menulis novel sejarah kemampuan ganda sangat diperlukan. Pertama, penulis harus menguasai latar belakang sejarah yang cukup memadai untuk menghindari kesalahan pengambilan detail-detail masalh dan anakronisme. Kedua, penulis harus menguasai teknik mengarang fiksi (cerita rekaan). Dua syarat itu memang terasa berat bagi novelis pada umumnya maupun sejarawan yang berniat menulis novel sejarah.

Menurut kritikus George Lukacs, novel sejarah harus mampu menghidupkan masa lampau, masa silam harus dekat pada kita dan dan mampu kita alami dalam kenyataan yang sebenarnya. Novel sejarah harus mampu membuat pembacanya mengalami kejadian-kejadian, merasakan suasana sesuai zaman, berhadapan dengan tokoh-tokoh yang dihidupkan, mengenali perasaan-perrasan mereka, semangat mereka, pikiran-pikiran mereka dan motif-motif perbuatan mereka. Novel sejarah tidak cukup hanya memberikan pengetahuan tetapi pengalaman konkret subyektif dalam bentuk gambaran-gambaran.

Maka tidak mengherankan kalau karya-karya novel sejarah sangat miskin dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Menurut penelitian Jakob Sumardjo, dari lebih 240 novel Indonesia hanya 14 novel saja yang bersifat sejarah. Dalam penelitian atas sejumlah 180 novel indonesia, terlihat bahwa tema yang digemari para novelis Indonesia adalah tema kejiwaan (52 persen) dan tema sosial (11 persen). Rupanya perhatian para sastrawan Indonesia lebih tertuju pada masalah-masalah zamannya sendiri yang memandang kompleks, terutama mengenai keadilan, kemiskinan, kesewenangan dan kebebasan.

Dari jumlah novel sejarah yang sedikit itu sebagian besar ditulis pada masa pra kemerdekaan atau masa penjajahan dan sebagian kecil pada masa post-kemerdekaan. Beberapa dari novel sejarah pada masa pra-kemerdekaan yang terkenal adalah Hulubalang Raja (1934), karangan Nur Sutan iskandar, I Swasta Setahun di Bedahulu (1938), karangan A.A. Panji Tisno, dan novel Abdul Muis yang mengalami beberapa kalicetak ulang adalah Surapati dan Robert Anak Surapati (1943 dan 1953). Adapun yang ditulis setelah kemerdekaan adalah dua novel karya Y.B. Mangunwijaya (Rara Mendut, Ikan Hooi) dan novel empat serangkai Pramudya Ananta Toer (Bumi manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) (Kompas, 15-10 1985)

Perlu dicatat disini bahwa ada sejumlah novel/roman sejarah yang belum dimasukkan dalam daftar penelitian Jakob Sumarjo atau belum diperhitungkan oleh dia. Mungkin dia beranggapan bahwa novel semacam itu tidak mempunyai bobot sastra. Novel-novel tersebut antara lain Nagasastra Sabuk Inten, Api di bukit Menoreh (karangan S.H. mintarja), Bende Mataram (karangan Herman Pratikto), dan Dewi Sri tanjung (karangan Widi Widayat) dan sebagainya. Karya-karya diatas oleh para kritisi sastra tidak dimasukkan dalam kategori novel/roman sastra, dengan demikianmereka bisa digolongkan novel/roman populer. Yang saya perhitungkan adalah kemampuan atau potensi para pengarang tersebut. Mereka telah banyak menulis novel/roman sejarah. Oleh karena itu, tidak ada jeleknya karya-karya mereka digunakan sebagai buku pustaka tambahan, lepas dari kategori populer atau sastra.

Pengembangan Budaya Menulis Novel Sejarah

Mengingat miskinnya novel sejarah dalam khasanah kesusastraan indonesia dan sumbangsihnya yang bisa diberikan kepada kaum generasi muda (siswa, mahasiswa khususnya, pemerintah cq. Depdikbup dan tokoh masyarakat perlu memikirkan dan mengusahakan bagaimana mendorong para sastrawan (khususnya novelis) agar bisa lebih sering menulis novel sejarah yang berbobot, artinya novel yang bisa memberi gambaran /tafsiran yang jelas mengenai peristiwa, tokoh masa silam sehingga novel itu bermanfaat bagi pembaca, tidak hanya segi hiburan (entertainment) saja yang dipentingkan.

Dalam upaya mengembangkan budaya menulis novel sejarah ini kita bisa menempuh dua cara. Pertama, melalui sayembara menulis novel sejarah untuk umum. Sayembara ini bisa dibagi dua, novel sejarah untuk bacaan siswa SD dan SMP dan novel sejarah untuk bacaan siswa SMA dan mahasiswa. Dalam hal ini, Depdikbud bekerjasama dengan pihak swasta (misalnya penerbit Gramedia, Erlangga, majalah Kartini dan sebagainya) dan pelaksanaannya diserahkan kepada penerbit/lembaga yang telah ditunjuk oleh Depdikbud. Bentuk kerjasama itu bisa dilaksanakan sebagai berikut : penerbit/lembaga yang menangani sayembara ini wajib memberi hadiah yang memadai (mis. uang tabanas) kepada para pemenang 1,2 dan 3. Buku-buku pemenang tersebut kemudian dicetak/diterbitkan dengan jumlah tertentu berdasarkan pesanan Depdikbud dan akhirnya disebarluaskan ke sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Dengan demikian pihak penerbit ada kepastian untuk pemasaran, disamping untuk umum, setelah buku diterbitkan; disamping itu, pengarang masih mempunyai hak royalti untuk penerbitannya.

Kedua, melalui proyek penulisan novel sejarah. Dalam hal ini Depdikbud melalui penerbit swasta menunjuk sejumlah novelis yang sudah punya nama untuk diberi tugas menulis novel sejarah yang nantinya setelah diterbitkan disebarluaskan ke sekolah-sekolah lewat Depdikbud dan toko-toko buku di seluruh Indonesia. Proyek ini bisa dibagi berdasarkan geografi masing-masing novelis, misalnya novelis yang berdomisili di Jawa diserahi menulis novel dengan latar belakang kerajaan Sriwijaya dan seterusnya. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi novelis untuk memilih latar sejarah sesuai dengan seleranya atau pilihannya.

Supaya ada koordinasi yang baik dan pemerataan latar belakang sejarah, pimpinan proyek (penerbit) perlu mengundang para novelis yang sudah siap dengan judul dan outline novel untuk tatap muka dengan pimpinan proyek. Dengan tatap muka akan terhindar dominasi latar belakang sejarah, misalnya masa penulisan (6-18 bulan), dan pahlawan-pahlawan yang akan dijadikan protagonis dalam novel itu (misalnya P. Diponegoro, R. Patah dan sebagainya) dan periodesasi (pra-penjajahan, penjajahan, kemerdekaan)

Dengan ditempuhnya dua cara tersebut, diharapkan para novelis yang sudah mapa lebih bergairah untuk menulis lebih banyak novel sejarah. Disamping itu, novelis muda akan bermunculan untuk memenangkan sayembara berhadiah dan tentu saja ‘income’ yang lebih berjelanjutan. Dan akhirnya para novelis bisa hidup (survive) melulu dari menulis.

Sumber asal: http://staff.undip.ac.id/sastra/suharno/
__________________________________________

Zahiruddin Zabidi
http://kalamkhalifah.blogspot.com/

No comments: